Copyright © Days Journal
Design by Dzignine
Kamis, 04 Juni 2015

Berbicara mengenai Idealisme

Masih teringat dengan jelas saat seorang widyaiswara berkata pada kelas saya, 438A, saat Diklat Prajabatan di Islamic Center, Surabaya, setahun yang lalu.

"Saya harap kalian disini, bapak ibu guru muda, bisa mempertahankan idealisme dalam membentuk generasi muda bangsa ini, sehingga Indonesia memiliki generasi penerus yang jujur dan kompeten, " kata beliau dengan berbinar dan menggebu.

Wajar Bapak Widyaiswara itu berkata demikian, beliau berkaca pada banyaknya fenomena PNS yang sudah kehilangan idealisme, istilahnya lainnya, asal kerja, tidak mencurahkan yang terbaik dari dirinya, toh ya PNS tiap bulan juga digaji sama.

Ya, saat itu semangat kami terlecut, untuk mewujudkan dan mempertahankan idealisme kami sebagai guru. Sayangnya, di saat dan momen yang sama, kami harus dan mungkin bisa dikatakan terlibat pada praktik yang sebaliknya. Dan lagi-lagi saya harus mengambing hitamkan sistem di Indonesia.


Idealisme diambil dari kata ideal, dimana maksudnya, yang saya paham, adalah memiliki suatu visi, pegangan, pandangan dan tujuan untuk diri sendiri dan orang lain. Yang positif, tentunya. Mendefinisikan kata, semua orang pasti bisa. Semua orang pun dengan mudah bisa kalau hanya sekedar mengucapkan. Tapi bagaimana kita bisa mempertahankan idealisme yang sesungguhnya itu ternyata sangat sulit.

Sebagai seorang pendidik, kita dituntut untuk mendidik. Semua orang tahu ini. Guru tugasnya mendidik siswa. Memberantas kebodohan. Umumnya seperti itu. Kebodohan seperti apa? Sekedar mengajari ilmu eksak apa sudah cukup?Tidak. Indonesia saat ini sudah darurat moral. Disitulah peran kita sebagai pendidik muncul, di situlah idealisme kita harus dipegang. Di situlah kita sebagai pendidik memiliki tanggung jawab moral.

Sebagai contoh, siswa saat ini seakan terpacu untuk fokus pada nilai di atas kertas. Memang itu perlu, tapi nilai di atas kertas bukanlah segalanya, ada yang lebih penting, yaitu moral. Moral itu yang nantinya akan tertanam pada diri siswa selamanya saat ia berkecimpung di dunia yang sesungguhnya. Moral itu yang bisa membawa diri mereka di mata orang lain. Moral itu yang bisa menyelamatkan mereka, dikala nilai di atas kertas hanya tersimpan rapi teronggok di dalam raport dan berdebu di tumpukan berkas usang. Itulah yang harus kita tanamkan pada siswa. Kedisiplinan yang kadang diartikan berbeda bagi mereka saat ini. Namun itu wajar, suatu saat nanti insyaAllah mereka mengerti, bahwa kedisiplinan yang diterapkan guru mereka semata mata hanya untuk kebaikan mereka. Bisa jadi untuk mempertahankan idealisme dan membentuk karakter yang baik bagi para siswa, guru harus rela menjadi karakter antagonisnya. Haha

Akhir kata, di saat banyak pendidik bersuka cita atas kenaikan pangkat, kenaikan gaji, kenaikan tunjangan, pencairan sertifikasi, dll, kadang kita harus bertanya pada diri kita. Bukan maksud hati untuk tidak bersyukur, tapi apakah kita sudah maksimal dengan kinerja kita?
Dengan segala fasilitas ini, apa kita sudah layak untuk bergembira? Sudah merasa layak untuk mendapatkannya di atas berbagai tanggung jawab moral untuk membentuk karakter bangsa?
Mari sejenak merenung dan berpikir.
Semoga kita para pendidik dimudahkan dalam memenuhi tanggung jawab tersebut di dunia dan akhirat. Aamiin.



.ajeng.
posted from Bloggeroid

1 komentar:

  1. komentar saya? jaga terus niat diajeng.. jadi sekalipun pangkat naik, duit nambah, de el el.. idealisme baik terus melekat.. wujud nyata dapat terus dilakukan..syukur2 ada inovasi..

    ada lagi diajeng?

    BalasHapus

Tinggalkan komentarmu ya..^_____^